Lore of Alor – part 1

Lore of Alor – Saya memberi judul bukan karena sok Inggris, tapi biar keliatan kece aja. Biasanya judul jurnal itu punya rima yang bagus jadi saya memilih kata LORE untuk Alor, yang berarti tradisi, cerita, mitologi, kepercayaan, dongeng dll. tentang Pulau ALor dan sekitarnya. Banyak cerita tentang Alor, tapi nanti. Sekarang kita baca dulu saja yang ringan-ringan tentang perjalanan kami ke pulau Alor.

This slideshow requires JavaScript.

Mungkin lebaran kali ini adalah rekor terlama saya memelototi layar monitor untuk memilih destinasi. Apakah ke Pekanbaru atau ke Pulau Alor. Kemungkinannya adalah 75% Pekanbaru dan 25% adalah Alor. Setelah bengong dan banyak galaunya di depan layar monitor, akhirnya yang saya beli adalah tiket ke Pulau Alor. Kenapa saya gak jadi ke Pekanbaru? Nggak perlu saya jelaskan, nanti jadinya saya malah curhat dan tulisannya bakalan jadi novel setebel kitab KUHP nantinya. Nanti saja sesi curhatnya saya tulis di blog satunya, sambil mewek tentunya.

Baiklah, mari kita mulai petualangan saya ke Alor bersama teman-teman segank saya. Perjalanan saya ke NTT kali ini penuh dengan kejutan dan gratisan. Kejutan pertama, di Bandara Juanda saya sudah dititipi 6 coli besar vaksin untuk ternak. Memang Dini sudah kasih kabar kalo mau nitip sesuatu, tapi nggak pernah saya bayangkan kalo yang dititipkan adalah mahluk hidup. Tapi untung gak seberapa merepotkan, secara semuanya sudah diurus ini dan itunya saya tinggal jongkok dan nungguin baran-barang ini. Kejutan kedua, selama di Alor, saya dan teman-teman memakai fasilitas sekelas anak Bupati. Saya bingung juga kenapa bisa begitu. Ternyata, ibunya Dini sudah menitipkan kami pada kenalannya, ibu Nur. Beliau bekerja sebagai assisten rumah dinas Alor. Kami sendiri sebenarnya cuman mau pinjam mobil dan menyetir sendiri selama di Alor. Tetapi karena kebaikan hati Bapak dan Ibu Bupati Alor, akhinya kami mendapat fasilitasi lebih. Seorang pengawal diutus untuk mengawal kami, namanya Kak Rin, dialah yang bertanggungjawab selama kami berada di Alor. Sebenarnya ini agak berlebihan, kami sampai nggak enak sendiri. Tapi ya, secara saya suka gratisan mana mungkin saya tolak. Heehehehheh

Day 1

Okey, saya cerita di Alor dulu. Sesampai di bandara Alor kami langsung ke rumah jabatan bupati untuk menyampaikan salam ibu Umbu (a.k.a. Ibu Retno a.k.a. mamahnya Dini) pada ibu bupati. Setelah menjalani acara protokoler, kami langsung pergi ke kampung adat di sana ditemani Ibu Nur yang lucunya minta ampun. Rencananya kami akan pergi ke kampung adat Takpala. Namun karena kondisi yang tidak kondusif, jalan menuju kampung tersebut ditutup. Demi menghemat waktu, Kak Rin berbelok arah menuju ke kampung adat Matalafang. Dalam perjalanan menuju sana Dini mengklaim kalo dirinya melihat lumba-lumba di laut dekat bandara udara. Kami berinisiatif untuk berhenti sebentar di pinggir jalan raya untuk menunggu dan melihat lumba-lumba seperti kata Dini. Namun setelah cukup lama menungggu si lumba-lumba namun tak muncul lagi, terjadilah percakapan antara Kak Rin dan Dini (dalam bahasa setempat) yang membuat kami ketawa ngakak. .

“Berapa ekor Dini lihat?”

“Hanya satu kak”

“Oh kalo satu mungkin kita nunggu sampai besok baru kita bisa lihat lagi”

hm.. mungkin Dini terbawa ilusi.

Di Matalafang kami disambut oleh pengurus kampung dan diajak berjalan-jalan melihat keadaan kampung yang masih terjaga dengan baik ini. Rumah adat yang yang berada di lokasi ini masih dihuni oleh beberapa kepala keluarga yang rata-rata berprofesi sebagai pekebun.

Arsitektur rumah adat berupa rumah panggung dari kayu dan beratap jerami. Di bagian puncak terdapat ornamen berupa dua tangan yang menengadah, menandakan permohonan limpahan berkat dari Yang Kuasa. Ada satu bale besar, masih berupa rumah panggung namun tidak berdinding. Di atasnya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan makanan, semacam lumbung. Di tempat inilah biasanya diadakan pertemuan-pertemuan adat dan menerima tamu. Saya dan teman-teman ditemani Bu Nur dan seorang wanita tua belajar lagu daerah bersama. Lirik lagunya kira-kira seperti ini “Taramitiye Taramitiye Taramiti Tominokuye..” Yang berarti bekerja bersama membangun desa. Saya sempat nganga saat melihat perempuan tua yang menemani kami ini… Bukan! Bukan Bu Nur ya.. yang satunya lain. Rambutnya yang sudah putih dibiarkan tergerai dengan kaki yang besar, kelihatan sekali jika perempuan ini suka berjalan tanpa alas kaki. Sejenak saya seperti berada dalam area shooting sinetron Misteri Dari Gunung Merapi. Hahahahah.. maaf nenek…

By the way di Alor ada semacam istiadat bagi para wanitanya untuk menggerai rambut mereka pada acara tertentu. Biasanya untuk upacara adat atau jika mereka sedang menarikan tarian khas Alor yang bernama Lego-lego.

Saya dan teman-teman juga sempat mencoba baju adat desa ini. Saya memakai kain tenun lebar yang diselempangkan menutupi bahu sampai lutut lalu dililit Ikat pinggang dari kayu melengkung (saya baru tahu ada ikat pinggang dari kayu). Sebagai pelengkap, saya dipakaikan hiasan kepala dari kayu dan benang-benang berwarna-warni. Senjata pun diberi, berupa parang dan busur beserta anak panahnya. Saya sempat mencoba memasang anak panah pada busurnya, cuman akting aja sih sebenarnya… Eh, kok si bapak yang mendandani saya teriak-teriak panik. Dikiranya saya mau memanah babi miliknya mungkin.

Setelah berpamitan dengan teman-teman di Matalafang, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai di pesisir utara pulau ini. Pantai Kokar, namanya. Kebetulan saya dan teman-teman datang ke Alor pas menjelang hari Raya Idul Fitri. Di Alor, atau di daerah Indonesia bagian timur pada umumnya mempunyai kebiasaan yang menarik menjelang hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri atau Natal. Di sepanjang tepi jalan raya akan terlihat dian-dian kecil, yang akan menyala saat malam tiba. Saya bisa bayangkan betapa bagusnya jalan kecil yang kami lalui ini saat malam tiba.

Udara di Alor cukup membuat level tenaga kami terkuras habis. Untungnya pantai Kokar ini bisa ngecharge energi kami dengan lautnya yang biru. Er… nggak juga sih sebenernya.. kalo saya sih recharge energynya dari suara seseorang yang lagi mudik di sana. Uhuk… ini sebenernya harus disensor sih, secara teman-teman saya nyinyirnya minta ampun hahahahahah… Saya sampai lari menjauh dari mereka untuk menerima telpon itu. Hey, makasih ya udah telpon waktu itu. 🙂

Sepulang dari pantai Kokar, kami mampir ke pantai Sebandar. Pantainya berupa pasir berwarna kemerahan, mirip seperti pink beach di Labuan Bajo. Di sini kami menikmati senja yang luar biasa bagusnya. Sebenarnya ada spot snorkeling yang bagus depan kantor perikanan, tapi kak Rin malah mengajak kami ke tempat yang lebih beradab dengan bale-bale untuk beristirahat. Kasihan si Dini, sudah pake baju renang syariah malah nggak dapat pemandangan bawah laut kece. Akhirnya kami menikmati air laut yang an pantai bersihnya dengan berenang-renang, bikin video, dan foto alay.

Ada sedikit waktu lagi! Kami pun meluncur ke pantai Alor Kecil untuk menikmati matahari tenggelam. Di pantai ini, konon jika air laut surut, kita bisa berjalan kaki menuju pulau seberang, Pulau Kepa yang rencananya akan kita kunjungi esok harinya.

Day 2

Setelah packing dan membungkus nasi dari kota kami bergegas menuju ke kampung adat Takpala karena kami mendengar kabar burung bahwa jalan menuju ke sana sudah dibuka. Ah, senangnya!Kak Rin sudah siap dengan mobilnya menjemput kami. Kalau dilihat-lihat Kak Rin ini mirip Paul Walker lho.. nanti kalau ada yang mau kenal bisa hubungi saya. dia Jomblo, menurut pengakuannya sih. Heheheheh…

Sesampai di ujung jalan menuju kampung Takpala kami harus kami harus kecewa karena dibohongi burung. Kabar mereka salah. Jalan ke Takpala masih ditutup. Sialan itu burung!. Kami harus berjalan kaki menerebas kebun dan bukit untuk menginjakkan kaki di kampung Takpala. Di sepanjang jalan, kami memunguti buah asam yang jatuh dan memakannya sambil merem-melek.

Kampung Takpala tak beda jauh dengan kampung Matalafang, hanya saja Takpala lebih luas dan berada di tempat yang lebih tinggi. Dari kampung ini kita bisa melihat laut yang biru dan lumba-lumba (kalo kalian pake teropong dan sedikit berhalusinasi).

Setelah puas bermain di Takpala, kami melaju menuju pantai Batu Putih. Kami sepakat untuk menuntaskan sesi pantai kami hari itu. Perjalanan menuju pantai Batu Putih memakan waktu yang lumayan lama. Namun, perjalanan itu tidak begitu membosankan karena kami mampir-mampir ke pantai-pantai cantik khas Indonesia timur dalam perjalanan ke sana. Selain itu jalan yang berkelok dan berbukit membuat saya lebih bisa menikmati alam Alor. (Entah teman-teman yang lain suka apa nggak, mereka diam di jok belakang – entah menikmati pemandangan, entah mabok).

Perhentian pertama adalah pantai Illawe. Pantai ini sepi dengan ombak yang agak besar. Pantai berpasir hitam ini rasanya cocok untuk menyepi pacaran. Dalam otak saya sudah terbayang berdua-duaan sama pacar menikmati pantai ini sambil diiringi lagu Taramitiye.. halah!… Sayangnya saya jomblo dan perginya sama teman-teman yang super usil, jadi ide ini harus disimpan untuk diri sendiri, jangan sampai mereka tahu, bisa jadi bulan-bulanan saya nanti jadinya.

Setelah puas menikmati pantai Illawe, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Batu Putih. Pantai ini lumayan populer sebagai tujuan wisata terbukti saat kami kesana ada beberapa wisatawan mancanegara dan wisatawan lokal yang datang juga kesana. Jika dicermati, pantai ini seperti pelangi. Saya sempat mengunggah foto pantai ini di instagram dan banyak yang suka. Saya tidak mandi di laut kali ini karena saya lebih suka menikmati rindangnya pohon cemara dan melihat laut yang begitu biru jernih. Lalu keadaan jadi damai, sejuk dan rileks… saya ketiduran dengan sukses. Entah berapa lama saya tidur, tiba-tiba Ledy sudah menenteng tas siap berangkat.

Hari itu kami menutupnya dengan berlayar menuju pulau Kepa, salah satu dari gugusan pulau yang membentuk kepulauan Nusa Tenggara. Kami diantar oleh seorang bapak dan anaknya yang masih berusia lima tahun dengan ketinting mereka. Pantai di sebelah timur berupa hamparan pasir putih bersih sedangkan di pantai barat adalah gugusan karang tumpul, mirip seperti pantai batu keris di Ujung Genteng.

Di pulau Kepa ada sebuah resort yang hanya diketahui segelintir orang, namanya La-petite. 100% penghuni resort ini adalah wisatawan mancanegara. Kami iseng bertanya untuk menginap di sana, tapi sepertinya tempat itu tertutup untuk wisatawan lokal. Sedih sih.

Next : petualangan mencengkeram di Jawatoda, cerita mistis seputar Alor, dan mimpi hari tua di Ternate

7 Comments Add yours

  1. Tertutup untuk wisatawan lokal tapi nggak bukan asing?

  2. tertutup buat yg bernama Ajat pastinya.

  3. Resortnya kok serem? Orang lokal nggak boleh nginep hehehe

  4. heheheh.. serem yak? sebenarnya banyak kok resort seperti ini yang tersebar di Indonesia, yang hanya memperbolehkan orang asing untuk tinggal, terutama jika pemiliknya adalah orang asing juga. Entah dengan modus apa.

  5. kapan2 ke sana deh.. surga!

Leave a comment